Sunday, October 22, 2017

Hadist ekonomi

HADIST EKONOMI


HADIST EKONOMI NILAI-NILAI DASAR EKONOMI ISLAM
NAMA : AMBRAN DIGAS RENANDO
NIM : 931405116
DOSEN PENGAMPU : ANA FADHILAH Lc.,MA
 
  1. PENGERTIAN EKONOMI ISLAM
Ekonomi Islam merupakan Ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun Iman dan rukun Islam.
Sistem ekonomi Islam adalah suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam, yang bersumber dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Sistem ekonomi mempunyai perbedaan mendasar dengan sistem ekonomi yang lain, dimana dalam sistem ekonomi Islam terdapat nilai moral dan nilai ibadah dalam setiap kegiatannya
  1. HADIST-HADIST EKONOMI TENTANG NILAI DASAR EKONOMI
1.         Hadist tentang kepemilikan Kepemilikan (ownership) dalam ekonomi Islam adalah :
a. Kepemilikan terletak pada manfaatnya bukan penguasaan secara mutlak terhadap sumber-sumber ekonomi.
b.         Kepemilikan terbatas sepanjang usia hidup manusia di dunia, dan bila kita meninggal dunia, harus didistribusikan kepada ahli waris menurut ketentuan Islam.
c. Kepemilikan perorangan tidak dibolehkan terhadap sumber-sumber ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sa'id berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Khirasy bin Hausyab Asy Syaibani dari Al Awwam bin Hausyab dari Mujahid dari Ibnu Abbas ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api. Dan harganya adalah haram." Abu Sa'id berkata, "Yang dimaksud adalah air yang mengalir." (HR. Ibnu Majah)
"Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Al Ja'dan Al Lu`lui telah mengabarkan kepada kami Hariz bin Utsman dari Hibban bin Zaid Asy Syar'i dari seorang laki-laki Qarn. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami Hariz bin Utsman telah menceritakan kepada kami Abu Khidasy dan ini adalah lafazh Ali, dari seorang laki-laki Muhajirin sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata, "Aku pernah berperang bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tiga kali, aku mendengar beliau bersabda: "Orang-orang Muslim bersekutu dalam hal rumput, air dan api." (HR. Abu Daud)
Kepemilikan bukanlah penguasaan mutlak atas sumber-sumber ekonomi, tetapi setiap orang atau badan dituntut kemampuannya untuk memanfaatkan sumber-sumber ekonomi tersebut. Lama kepemilikan manusia atas sesuatu benda terbatas pada lamanya manusia tersebut hidup di dunia. Sumber daya yang menyangkut kepentingan umum atau yang menjadi hajat hidup orang banyak harus menjadi milik umum.
Hal ini berdasarkan Hadist Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Ahmad & Abu daud yang mengatakan : “Semua orang berserikat mengenai tiga hal yaitu air (termasuk garam), rumput dan api” Sumber alam ini dapat dikiaskan (sekarang) dengan minyak dan gas bumi, barang tambang dan kebutuhan pokok manusia lainnya.

2.  Hadits Tentang Keseimbangan Keseimbangan yang terwujud dalam kesederhanaan, hemat dan menjauhi sikap pemborosan.
Keseimbangan (equilibrium) terlihat pengaruhnya pada tingkah laku ekonomi muslim, misalnya kesederhanaan (moderation), berhemat (parsimony), dan menjauhi pemborosan (extravagance). Konsep keseimbangan ini tidak semata diarahkan pada timbangan kebaikan dunia akhirat saja tapi juga berkaitan dengan keseimbangan atas kepentingan perorangan dan kepentingan umum. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Keutamaan Lapar dan Kesederhanaan dalam Hidup, Baik Berupa Makanan, Minuman, Pakaian, Maupun Hal yang Lain. (14/524). Asma’ binti Yazid RA berkata:  
 “Lengan baju Rasulullah SAW panjangnya sampai pergelangan tangan”. (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan).
Hadist di atas menjelaskan bahwa bentuk kesederhanaan yang di terapkan oleh Rasulullah adalah dicontohkan dari segi pakaian. Dalam berpakaian, lengan baju rasulullah sampai dpergelangan tangan tidak lebih dari itu. Jikalau kita membuatnya lebih dari itu, maka bisa di anggap berlebihan, karena nanti akan menyebabkan ketidak nyamanan bagi kita yang memakainya.
Nabi Muhammad SAW jauh sebelumnya sudah mengajarkan prinsip-prinsip dalam kehidupan politik rakyatnya. Betapa tidak, dari hadis dapat kita gali sebuah pesan bahwa islam menjamin HAM termasuk di dalamnya hak-hak sipil dan politik (isipol) dan hak-hak ekonomi sosial dan budaya (ekosob).
Karena itu, bila seorang peimimpin tidak menjamin hak-hak azasi manusia (ham) warganya, maka pemimpin itu telah keluar dari sunnah rasul s.a.w.
“Takarlah makanan kalian (berhematlah kalian), niscaya makanan kalian akan di berkahi.” (HR.MUSLIM)
Hadist ini menganjurkan kepada kita agar menakar makanan pokok menurut perhitungan yang berlaku karena sesungguhnya bersikap ekonomis itu merupakan sebagian dari kehidupan,dan akan membawa kepada keberkahan.
“Janganlah sekali-kali kalian makan dan minum terlalu kenyang, karena sesungguhnya hal tersebut merusak tubuh, dan dapat menyebabkan malas mengerjakan shalat, dan pertengahanlah kalian dalam kedua hal tersebut, karena sesungguhnya hal ini lebih baik bagi tubuh, dan jauhkan diri dari berlebih-lebihan (israf). (HR. BUKHARI)
Al-Bithnah, diartikan makan dan minum melebihi sekenyang perut. As Saqam makna asalnya ialah sakit, tetapi makna yang di maksud dalam hadist ini ialah malas mengerjakan shalat. Makan melebihi sekenyang perut dilarang oleh agama karena dapat mengakibatkan tubuh orang yang bersangkutan menjadi rusak dan malas untuk mengerjakan shalat.
3. Hadist tentang keadilan Keadilan di dalam Al Qur’an,
Nilai keadilan sangat penting dalam ajaran Islam, terutama dalam kehidupan hukum Sosial, Politik dan Ekonomi. Untuk itu keadilan harus di terapkan dalam kehidupan Ekonomi seperti :proses distribusi, produksi, konsumsi dan lain sebagainya. Keadilan juga harus diwujudkan dalam mengalokasikan sejumlah hasil kegiatan ekonomi tertentu bagi orang yang tidak mampu memasuki pasar, melalui zakat, infaq dan hibah. Keadilan (justice) berkaitan dengan perilaku ekonomi umat manusia mengandung pengertian sebagai berikut :
a) Keadilan berarti kebebasan yang bersyarat akhlak Islam.
b) Keadilan harus ditetapkan disemua fase kegiatan ekonomi
Menceritakan Abdullah ibnu abdi rahman ibnu bahrama dharami,menceritakan marwan ya’ni ibnu muhammad damasqi,menceritakan said bin abdul aziz dari Rabi’a ibnu yazid,dari abi idris haulani, dari Rasulullah SAW yang meriwayatkan dari Allah tabaaraka ta’ala , Ia berkata: “ Wahai hambaku ,sesungguhnya saya mengharamkan dzalim kepada diri saya sendiri dan saya menjadikan di antara kalian keharaman,maka janganlah kalian saling mendzalimi”.(HR.MUSLIM)
Hadist di atas menyuruh kita untuk tidak saling mendzalimi antara yang satu dengan yang lainnya,karena haram merupakan perbuata yang sangat di haramkan oleh Allah SWT. Keterangan: Hadist ini termasuk hadist shahih karena perawinya marfu’ kepada Nabi mulai rawi pertama hingga perawi terakhir.
حَدَّثَنِي بِشْرُ بْنُ مَرْحُومٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ
(BUKHARI - 2075) : Telah menceritakan kepada saya Bisyir bin Marhum telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim dari Isma'il bin Umayyah dari Sa'id bin Abi Sa'id dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah Ta'ala berfirman: Ada tiga jenis orang yang Aku menjadi musuh mereka pada hari qiyamat, seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya, seseorang yang menjual orang yang telah merdeka lalu memakan (uang dari) harganya dan seseorang yang memperkerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya namun tidak dibayar upahnya".
حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ سَعِيدِ بْنِ سُلَيْمَانَ بْنِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ خَارِجَةَ بْنِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا عِنْدَ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ
فَأَتَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَتِيقٍ وَعَيْنَاهُ تَدْمَعَانِ فَقَالَ لَهُ زَيْدٌ مَا شَأْنُكَ فَقَالَ مَلَّكْتُ امْرَأَتِي أَمْرَهَا فَفَارَقَتْنِي فَقَالَ لَهُ زَيْدٌ مَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ قَالَ الْقَدَرُ فَقَالَ زَيْدٌ ارْتَجِعْهَا إِنْ شِئْتَ فَإِنَّمَا هِيَ وَاحِدَةٌ وَأَنْتَ أَمْلَكُ بِهَا
(MALIK - 1015) : Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Sa'id bin Sulaiman bin Zaid bin Tsabit dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit bahwa ia mengabarkan kepadanya, bahwa ia pernah duduk-duduk bersama Zaid bin Tsabit, tiba-tiba Muhammad bin Abu 'Atiq menemuinya dengan kedua mata meneteskan air mata. Zaid lalu bertanya kepadanya; "Ada apa denganmu?" Dia menjawab; "Aku telah menyerahkan keputusan (talak) kepada isteriku, dan ia memutuskan untuk berpisah dariku." Zaid bertanya lagi; "Kenapa kamu lakukan hal itu?" ia menjawab, "Karena faktor ekonomi." Zaid berkata; "Jika mau, ruju'lah ia. Karena yang demikian itu hanya talak satu, dan kamu lebih berhak atas dirinya."

Hadist tentang nilai harta

HADIST EKONOMI "HADIST TENTANG NILAI HARTA"
NAMA : AMBRAN DIGAS RENANDO
NIM : 931405116

Hadist tentang Nilai Harta
A.    Pengertian Harta
            Secara etimologi al-mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau berpaling dari tengah ke salah satu sisi, dan al-mal diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara,baik dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat.[1]
Harta adalah sesuatu yang dapat disimpan dan dapat digunakan ketika dibutuhkan, dan dalam hal ini harta sebagai suatu hal yang berwujud (a’yan). Sedangkan harta menurut sebagian ulama ialah “sesuatu yang diinginkan manusia berdasarkan tabiatnya, baik manusia itu akan memebrikannya atau akan menyimpannya.”
B.     Fungsi Harta
1.    Kesempurnaan ibadah mahzhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutup aurat
2.    Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT sebagai kefakiran mendekatkan kepada kekufuran
3.    Meneruskan kelangsungan hidup agar tidak meninggalkan generasi lemah, sebagaimana firman Allah :
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS An Nisa ayat 9)
4.    Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat
5.    Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu
6.    Untuk menumbuhkan silaturahmi
C.     Kedudukan Harta
            Sebuah hal yang terpenting yang harus diketahui dalam penggunaan harta adalah keduduakan harta, karena dalam hal ini sangat penting sekali agar nantinya tidak terjadi sebuah salah dalam penggunaan harta. Karena harta sangat berperan sekali dalam kehidupan manusia, hal itu terbukti bahwa di zaman yang modern ini sebuah harta mempunyai kedudukan yang sangat tinggi didalam interaksi dalam kehidupan.
Dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa harta merupakan perhiasan kehidupan dunia, firman Allah :
ۖالدُّنْيَاالْحَيَاةِزِينَةُ وَالْبَنُونَ الْمَالُ
Artinya : “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia..”(QS Al-Kahfi:46)
Pada ayat itu diterangkan bahwa kebutuhan manusia atau kesenangan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadap anak atau keturunan. Jadi salah satu kebutuhan yang mendasar bagi manusia adalah sebuah harta
D.    Pemberian Harta kepada Orang Lain
1.         Hibah
Secara etimologi hibah berarti pemberian atau hadiah. Pemberian ini dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah,tanpa mengharapkan balasan apapun.[2]
Adapun dasar hukum hibah terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 177 :
.. وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ..
Artinya : ...dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,orang-orang miskin dan orang musafir(yang memerlukan pertolongan)...(QS Al-Baqarah:177)
Dan Nabi SAW bersabda :
                                                                                             ...تَحَابُّوْاتَهَادُوْا
Artinya : “Saling menghadiahilah kalian niscaya kalian akan saling
mencintai.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 594, dihasankan Al-Imam Al-Albani dalam Irwa`ul Ghalil no. 1601)
Dalam ber Hibah pasti memiliki syarat dan rukun hibah, antara lain adalah :
a.    Pemberi Hibah (Wahib), syaratnya yaitu sudah baligh, dilakukan atas dasar kemauan sendiri, dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang.
b.     Penerima Hibah (Mauhub Lahu), syarat penerima hibah yaitu hendaknya penerima hibah terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya.
c.    Barang yang dihibahkan (Mauhub), syarat barang yang dihibahkan  diantaranya jelas terlihat wujudnya, barang yang dihibahkan memiliki nilai atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.
d.    Akad (Ijab dan Qabul), misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkan atau kuberikan tanah ini kepadamu”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”.

Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :
a.    Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan) apapun. Misalnya  menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.
b.    Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.
Hibah memiliki beberapa hikmah yaitu:
a.    Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama
b.    Menumbuhkan sikap saling tolong menolong
c.    Dapat mempererat tali silaturahmi
d.    Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka.
2.      Sedekah
Secara etimologi kata sedekah berasal dari bahasa arab ash-shadaqahdiartikah sebagai pemberian yang disunahkan. Secara terminologi, sedekah diartikan sebagai pemberian seseorang secara ikhlas kepada yang berhak menerimanya yang diiringi oleh pemberian pahala dari Allah.[3]
Berikut adalah syarat-syarat dari kesempurnaan sedekah:
a.    Tidak menyebut-nyebut shodaqoh yang telah diberikan. Pahala sedekah akan lenyap bila si pemberi selalu menyebut-nyebut sedekah yang telah ia berikan atau menyakiti perasaan si penerima.
b.    Sembunyi-Sembunyi salah satu syaratnya, hal ini bertujuan untuk menghindari sifat ria bagi para kaum muslimin yang bersedekah.
c.    Sedekah yang disedekahkan merupakan harta terbaik, bertujuan untuk menghindari suatu barang/harta yang kita sedekahkan merupakan barang yang sudah tidak layak pakai bagi kita baru kemudian kita sedekahkan.
Adapun macam-macam dari sedekah, yaitu :
a.    Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Untuk merealisasikan amar ma’ruf nahi mungkar, seseorang perlu mengeluarkan tenaga, pikiran, waktu, dan perasaannya. Dan semua hal tersebut terhitung sebagai shadaqah.
b.    Bekerja dan memberi nafkah sanak keluarganya
Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadits: Dari Al-Miqdan bin Ma’dikarib Al-Zubaidi ra, dari Rasulullah saw. berkata, “Tidaklah ada satu pekerjaan yang paling mulia yang dilakukan oleh seseorang daripada pekerjaan yang dilakukan dari tangannya sendiri. Dan tidaklah seseorang menafkahkan hartanya terhadap diri, keluarga, anak dan pembantunya melainkan akan menjadi shadaqah.” (HR. Ibnu Majah).
c.    Membantu urusan orang lain.
Dari Abdillah bin Qais bin Salim Al-Madani, dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, “Setiap muslim harus bershadaqah.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana pendapatmu, wahai Rasulullah, jika ia tidak mendapatkan (harta yang dapat disedekahkan)?” Rasulullah saw. bersabda, “Bekerja dengan tangannya sendiri kemudian ia memanfaatkannya untuk dirinya dan bersedekah.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau bersabda, “Menolong orang yang membutuhkan lagi teranaiaya.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, “Mengajak pada yang ma’ruf atau kebaikan.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, “Menahan diri dari perbuatan buruk, itu merupakan shadaqah.” (HR. Muslim).
Sedekah memiliki beberapa hikmah yaitu :
a.       Sedekah dapat menghapus dosa.
b.      Orang yang bersedekah akan mendapatkan naungan di hari akhir.
c.       Sedekah memberi keberkahan pada harta.
d.      Allah melipat gandakan pahala orang yang bersedekah.
e.       Terdapat pintu surga yang hanya dapat dimasuki oleh orang yang bersedekah.
3.      Hadiah
Hadiah merupakan bukti rasa cinta dan bersihnya hati padanya ada kesan penghormatan dan pemuliaan, dan oleh karena itu Rasulullah SAW menerima hadiah dan menganjurka untuk saling memberi hadiah serta menganjurkan untuk menerimanya.
Adapun dasar hukum hibah terdapat dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah :
لَوْدُعِيْتُ اِلىَ زِرَاعٍ اَوْكُرَاعٍ لَاَجَبْتُ وَلَوْاُهْدِيَ زِرَا عٌ اَوْكُرَا عٌ لَقَبِلْتُ
Artinya: sekiranya aku diundang makan sepotong kaki binatang, pasti akan aku penuhi undangan tersebut.begitu juga jika sepotong lengan atau kaki dihadiahka kepadaku, pasti aku akan menerimanya.” (HR.Al-Bukhari)
Berikut adalah syarat-syarat dari hadiah :
a.    Orang yang memberikan hadiah itu seghat akalnya dan tidak dibawah perwalian orang lain.
b.    Barang yang dihadiahkan harus bermanfaat bagi penerimanya.
Adapun hikmah dari hadiah yaitu :
a.    Dapat menolong orang yang membutuhkan dan memererat silaturrahim diantara sesamanya.
b.    Dapat meredam murka Alloh atau menolak bencana dan menambah umur
c.    Memperoleh pahala yang mengalir terus
d.    Akan bertambah rizkinya
e.    Mengahapuskan kesalahan



          [1]Dr H. Nasrun Haroen MA, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama) hlm 73
          [2]Dr H. Nasrun Haroen MA, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama) hlm 82
          [3]Dr H. Nasrun Haroen MA, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama) hlm 88-89

Hadist jual beli dan riba

HADIST EKONOMI "HADIST JUAL BELI DAN RIBA”



HADIST EKONOMI "HADIST JUAL BELI DAN RIBA”
NAMA : AMBRAN DIGAS RENANDO
NIM : 931405116
Hadist Jual Beli dan riba
A.    Pengertian Jual Beli
Kata jual beli berasal dari bahasa Arab, jual pada bahasa arab dikenal dengan istilah al-bay’dari ba’a-yabi’u yang berarti menjual. Dan kata beli yaitu al-syira dari kata syara yang berarti membeli. Secara etimologi, jual beli diartikan sebagai pertukaran sesuatu dengan yang lain atau memberikan sesuatu untuk menukarkan sesuatu yang lain.[1]
Definisi jual beli sejalan dengan firman Allah bahwa jual beli harus didasarkan pada keinginan sendiri dan atas dasar suka sama suka, sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Nisa ayat 29 :
       “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”[2]
       Ulama memiliki perbedaan pendapat tentang definisi jual beli, Hanafiyah mendifinisikan jual beli dengan dua definisi :
“Saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu.”
“Tukar menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat”
       Dari dua argumen tersebut terkandung pengertian bahwa cara khusus melalui ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul (pernyataan menjual dari penjual), harta yang diperjualbelikan harus bermanfaat bagi manusia jika harta yang diperjualbelikan tidak bermanfaat, jual beli dianggap tidak sah.
       Definisi lain yang dikemukakan ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Menurut ketiga Mazhab tersebut jual beli adalah :
“Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan
       Terdapat penekanan kepada kata milik dan pemilikan, karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki seperti sewa-menyewa. Jual beli diartikan dengan menukar barang dengan barang atau barang dengan barang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas dasar kerelaan kedua belah pihak. Jual beli dapat diartikan sebagai pertukaran harta antara dua pihak atas dasar saling rela dan memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu berupa alat tukar yang diakui sah dalam lalu lintas perdagangan.[3]
B.  Transaksi yang diharamkan
1.      Menjual barang yang sudah dibeli atau ditawar orang lain
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ
“'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah sebagian dari kalian membeli apa yang dibeli (sedang ditawar) oleh saudaranya".[4]
2.      Minuman keras dan sejenisnya (Narkoba)
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ خَالِدٍ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ الْأَعْمَشِ سَمِعْتُ أَبَا الضُّحَى يُحَدِّثُ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ
لَمَّا أُنْزِلَتْ الْآيَاتُ الْأَوَاخِرُ مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَلَاهُنَّ فِي الْمَسْجِدِ فَحَرَّمَ التِّجَارَةَ فِي الْخَمْرِ
“Abu Adluha bercerita dari Masruq dari Aisyah dia berkata; Tatkala turun beberapa ayat terakhir dari surat Al Baqarah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar lalu membacakannya di masjid. Kemudian beliau mengharamkan jual beli minuman keras.”[5]
3.      Barang najis
حَدَّثَنَا سُرَيْجٌ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا خَالِدٌ لْحَذَّاءُ عَنْ بَرَكَةَ بْنِ الْعُرْيَانِ الْمُجَاشِعِيِّ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يُحَدِّثُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِمْ الشُّحُومُ فَبَاعُوهَا وَأَكَلُوا أَثْمَانَهَا وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semoga Allah melaknat kaum Yahudi. Telah diharamkan lemak atas mereka, namun mereka menjualnya dan memakan harganya (hasil penjualan). Dan sesungguhnya Allah 'azza wajalla apabila mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia pun mengharamkan juga harganya (hasil penjualannya)."[6]
4.      Gharar yaitu jual beli yang tidak jelas, mengandung unsur ketidakpstian/spekulasi, dan penipuan.
أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dari menjual dengan cara hashah (jual beli, dan jual beli gharar (tidak jelas)."[7]
a.       Hashat yaitu jual beli yang tidak jelas luasnya, dengan cara melelpar hashat (batu kecil) pada tempat batu itu jatuh, itulah tanah yang terjual. Model ini dilarang karena mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi.
و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ وَيَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَأَبُو أُسَامَةَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ ح و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَنِي أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dan Yahya bin Sa'id serta Abu Usamah dari Ubaidillah. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb sedangkan lafazh darinya, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari 'Ubaidillah telah menceritakan kepada kami Abu Az Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang jual beli dengan cara hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan cara lain yang mengandung unsur penipuan.[8]
b.      Nitaj yaitu jual beli hasil binatang ternak sebelum memberikan hasil, misalnya jual beli susu yang masih berada dalam kantong. Model ini juga dilarang karena mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَتَبَايَعُونَ لُحُومَ الْجَزُورِ إِلَى حَبَلِ الْحَبَلَةِ قَالَ وَحَبَلُ الْحَبَلَةِ أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ مَا فِي بَطْنِهَا ثُمَّ تَحْمِلَ الَّتِي نُتِجَتْ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ
"Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya dari 'Ubaidullah telah mengabarkan kepada Nafi' dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma berkata; Dahulu orang-orang jahiliyyah menjual daging anak unta yang masih dalam kandungan. Dia berkata; Yang dimaksud dengan habalul habalah adalah unta dibeli berupa apa yang ada dalam kandungannya kemudian unta tersebut mengandung apa yang diperjual belikan itu, maka kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang praktek jual beli seperti itu."[9]
c.       Mulamasah dan Munabadzah
Mulamasah adalah si penjual dan pembeli menyentuh pakaian yang dijual atau barangnya tanpa perlu memeriksa atau membukanya. Dan Munabadzah adalah penjual menjajakan pakaian yang dimiliki untuk dijual dan pembeli tidak memegang atau melihat barang tersebut. Dengan demikian, diharamkan jual beli apapun jika pembeli tidak bisa memeriksa barang tersebut karena ditakutkan akan timbulnya kecurangan dari pihak penjual.[10]
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ وَعَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ
"Telah menceritakan kepada kami Isma'il berkata, telah menceritakan kepada Malik dari Muhammad bin Yahya bin Habban dan dari Abu Az Zanad dari Al A'raj dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang mulamasah dan munabadzah".[11]
d.      Muhaqolah dan Muzabanah
Muhaqolah yaitu jual beli tanaman yang belum dituai atau panen, dan muzabanah yaitu jual beli kurma yang masih ada dipohonnya. Model ini juga dilarang karena mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الشَّيْبَانِيِّ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةِ
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Asy-Syaibaniy dari 'Ikrimah dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata; "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang Al Muhaqalah (jual beli buah yang masih ditangkai dengan gandum) dan Al Muzabanah (jual beli kurma yang masih dipohon dengan kurma yang sudah dipetik).”[12]
e.       Mukhadarah yaitu kurma hijau atau yang belum tampak matangnya. Model ini dilarang karena mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi.
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ يُونُسَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ الْأَنْصَارِيُّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُخَاضَرَةِ وَالْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ وَالْمُزَابَنَةِ
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Wahab telah menceritakan kepada kami 'Umar bin Yunus berkata, telah menceritakan kepada Ishaq bin Abi Tholhah Al Anshari dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu bahwa dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dari Al Muhaaqalah (jual beli buah yang masih ditangkai dengan gandum), Al Mukhodharoh (jual beli buah atau biji-bijian sebelum matang), Al Mulaamasah (terjadi jual beli jika calon pembeli memegang barang dagangan), Al Munaabadzah (jual beli dengan melempar barang dagangan) dan Al Muzaabanah (jual beli kurma yang masih dipohon dengan kurma yang sudah dipetik)."[13]
f.        Habalil habalah adalah jual beli anak unta yang masih didalam perut, dan akan dibayar juka unta tersebut melahirkan dengan jenis kelamin tertentu.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَتَبَايَعُونَ لُحُومَ الْجَزُورِ إِلَى حَبَلِ الْحَبَلَةِ قَالَ وَحَبَلُ الْحَبَلَةِ أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ مَا فِي بَطْنِهَا ثُمَّ تَحْمِلَ الَّتِي نُتِجَتْ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ
"Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya dari 'Ubaidullah telah mengabarkan kepada Nafi' dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma berkata; Dahulu orag-orang jahiliyyah menjual daging anak unta yang masih dalam kandungan. Dia berkata; Yang dimaksud dengan habalul habalah adalah unta dibeli berupa apa yang ada dalam kandungannya kemudian unta tersebut mengandung apa yang diperjual belikan itu, maka kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang praktek jual beli seperti itu."[14]
g.      Talqi jalab adalah petani membawa hasil panen kekota, kemudian orang kota menjual dengan harga yang ditetapkan sendiri. Jual beli ini dilarang karena dapat mengakibatkan pemasok tunggal, karena itu harus dijual dipasar terbuka.
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا جُوَيْرِيَةُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
كُنَّا نَتَلَقَّى الرُّكْبَانَ فَنَشْتَرِي مِنْهُمْ الطَّعَامَ فَنَهَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى يُبْلَغَ بِهِ سُوقُ الطَّعَامِ
قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ هَذَا فِي أَعْلَى السُّوقِ يُبَيِّنُهُ حَدِيثُ عُبَيْدِ اللَّهِ
“Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Juwairiyah berkata, dari Nafi' dari 'Abdullah radliallahu 'anhu berkata: "Kami dahulu biasa menyongsong kafilah dagang lalu kami membeli makanan. Maka kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang kami membelinya hingga makanan tersebut sampai di pasar makanan". Berkata, Abu 'Abdullah Al Bukhariy: "Ini larangan untuk transaksi diluar pasar sebagaimana dijelaskan oleh hadits 'Ubaidullah".[15]
h.      Hadir al-Ibad yaitu monopoli dengan tujuan harga yang tinggi
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صَبَّاحٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَلِيٍّ الْحَنَفِيُّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ وَبِهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ
"Telah menceritakan kepada 'Abdullah bin Shabbah telah menceritakan kepada kami Abu 'Ali Al Hanafiy dari 'Abdurrahman bin 'Abdullah bin Dinar berkata, telah menceritakan dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang orang kota menjual untuk orang desa": Hadits ini telah dikomentari oleh Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma."[16]
i.        Najsy yaitu membeli barang karena mendengar akan naik lalu dijual dengan harga yang tinggi ketika harga sudah naik
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ النَّجْشِ
"Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id dari Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam melarang (jual beli) najasy (penipuan)."[17]
j.        Ikhtikar yaitu penimbunan gandum atau barang hanya untuk menaikkan harga dengan sengaja. Iman abu Hanifah membatasi hukum pelarangan ini hanya pada gandum, imam Yusuf untuk semua hal yang mana penimbunan itu akan membahayakan kepentingan umum.[18]
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ عَلِيِّ بْنِ سَالِمِ بْنِ ثَوْبَانَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدِ بْنِ جُدْعَانَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجَالِبُ مَرْزُوقٌ وَالْمُحْتَكِرُ مَلْعُونٌ
"Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali Al Jahdlami telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Telah menceritakan kepada kami Isra`il dari Ali bin Salim bin Tsauban dari Ali bin Zaid bin Jud'an dari Sa'id bin Al Musayyab dari Umar bin Khaththab ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang mencari nafkah itu diberi rizki dan orang yang menimbun itu dilaknat."[19]

Hadist Tentang Jual Beli Dan Riba
A.    Jual-beli
1.      Pengertian Jual-Beli
Jual-Beli dalam bahasa arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna berlawanan yaitu Al-Bai’ yang artinya jual dan Asy syira’a yang artinya beli. Dengan demikian, jual beli adalah penukaran harta (dalam pengertian luas) atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang dilakukan antara dua pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka sama suka.
            Beberapa ulama mendefisinikan Jual beli sebagai berikut :
a.       Menurut ulama hanafiyah, jual beli adalah saling menukarkan harta dengan harta melal   ui cara tertentu. Atau tukar menukar sesuatu yang di ingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat
b.      Menurut Said Sabiq, jual beli adalah saling menukar harta dengan harta atas dasar suka sama suka.
c.       Menurut Imam An-Nawawi, jual beli adalah menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan kepemilikan.
d.      Menurut Syafi’iyah, menukar barang dengan barang atau barang dengan jalan melepaskan hak milik yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.

2.      Hukum Jual-beli
Sebagaimana firman Allah Swt dalam surah Al-Baqarah ayat  275 yang artinya :
” Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”[20]
      Penghalalan jual-beli oleh Allah itu mengandung dua kemungkinan makna, yaitu :Pertama, Allah menghalalkan setiap jual-beli yang biasa di transaksikan manusia dengan sikap saling rela dari keduanya. Ini adalah maknanya yang paling kuat. Kedua,Allah menghalalkan jual-beli apabila tidak dilarang oleh Rosulullah SAW sebagai penerang dari Allah tentang makna yang dia kehendaki.
      Dengan demikian hukum jual-beli itu termasuk hukum mujmal yang telah ditetapkan hukumnya oleh Allah dalam Kitab-Nya dan dijelaskan tata caranya melalui lisan Nabi-Nya. Atau termasuk hukum umum yang dimaksudkan brlaku khusu, lalu Rosulullah SAW menjelaskan apa yang dimaksud kehalalannya serta apa yang diharamkan darinya; atau dia masuk kategori keduanya; atau termasuk hukum umum yang dibolehkan Allah kecuali yang diharamkanNya melalui lisan Nabi-Nya dan sumber hukum yang semakna.[21]
      Makna mana saja diantara makna-makna tersebut, Allah telah mewajibkan manusia berdasarkan apa yang telah ditetapkan-Nya untuk mentaati Rosuullah.[22]

Hadits



“ Dari Rifa’ah bin Rafi sesungguhnya Nabi Saw pernah ditanya, pekerjaan apakah yang paling baik, Rosulullah menjawab : seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan tiap-tiap jual beli yang mabrur (dengan cara halal dan baik).
Memperhatikan ayat dan hadits tersebut dapat diambil pengertian bahwa jual beli, berdagang atau membuka jenis-jenis usaha produksi dibidang ekonomi,  dibenarkan bahkan dianjurkan dalam islam.
Syariat Islam menggariskan beberapa hukum jual beli yaitu :
a.       Mubah, artinya jual beli itu boleh, ini merupakan hukum asal jual beli.
b.      Sunnah, yaitu jual beli yang dilakukan terhadap orang yang sangat membutuhkan barang yang diperjualbelikan itu,
c.       Wajib, yaitu menjual harta peninggalan orang tuannya untuk melunasi hutang-hutangnya ketika masih hidup
d.      Haram, yaitu jual beli yang didalamnya terdapat unsur-unsur yang melanggar dari syariat Islam, misalnya : penipuan, mengicuh dan lain sebagainya.




3.      Hadits-hadits tentang Jual-beli
عن عبد الله بن عمر ر ضي ا لله عنهما  عن ر سو ل ا لله صل ا لله عليه و سلا م : أ نه قا ل إ ذ ا تبا يع الر جلا نن فكا ل وا حد منهما با لخيا ر ما لم يتفر قا و كا ن جميعا أو يخير أ حد هما الآ خر فتبا يعا على ذ لك فقد و جب البيع وإن تفرقا بعد أ ن يتبا يعا ولم يتر ك واحد  منهما   البيع فقد و جب البيع

“ Dari Abdullah bin Umar r.a, dari Rosulullah SAW, beliau bersabda,jika dua orang saling berjual-beli, maka masing-masing diantara keduannya mempunyai hak pilih selagi keduanya belum berpisah, dan keduanya sama-sama mempunyai hak, atau salah seorang diantara keduanya memberi pilihan kepada yang lain lalu kedua nya menetapkan jual beli atas dasar pilihan itu maka jual beli menjadi wajib.”
“ Ada hadis yang semakna dari hadist Hakim bin Hizam, dia berkata, Rosulullah SAW bersabda, dua orang yang berjual beli mempunyai hak pilih selagi belum berpisah, atau beliau bersabda, Hingga keduannya saling berpisah, jika keduannya saling jujur dan menjelaskan, maka keduannya saling menyembunyikan dan berdusta, maka barakah jual beli itu dihapuskan.”[23]
أخرج البخا ر ي ومسلم عن ابن عمر أن رسو ل الله صل الله عليه و سلم نهى عن بيع الثمر ة حتى يبد و صلا خها ونهى البا ئع والشتر ي
“Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW. Malarang menjual buah sehingga tampak kalayaknya, Rasulullah saw. Melarang menjual Dan pembelinya”
و أخر ج مسلم عن أبى هر يرة قا ل:قا ل ر سو ل الله صل الله عليه وسلم: لا تبتا عوا الثما ر حتي يبدو صلا حها
“Diriwayatkan oleh muslim dan abu hurairah, ia berkata “Rasulullah SAW. Bersabda Janganlah kalian menjual buah buahan sehingga tampak kalayaknya.”[24]


Makna Jual-beli dalam satu jual beli
عن أبى هر ير ة قا ل :نهى ر سو   ل الله صلى ا لله عليه و سلم عن يبعتين في بيعة
“Dari Abu Hurairah r.a ia berkata : Rosulullah SAW  melarang dua jual beli dalam satu jual beli.” (HR. Tirmidzi)
Adapun larangan mengambil hasil Penjualan Anjing, Pelacuran, dan Upah perdukunan
عن أبي مسعو د الأ نصر ي ر ضي الله عنه : أن ر سو ل الله صلى الله عليه و سلم نهى عن ثمن الكلب و مهر البغي وحلو ا ن الكاهن (مسلم:ه/ ه  )
“Dari Abu Mas’ud AlAnshar RA, bahwa rasulullah SAW melarang (untuk mengambil dan memanfaatkan) hasil penjualan anjing hasil pelacuran dan upah pendukunan.” {Muslim:5/35}
Larangan Mengambil Hasil Penjualan Kucing
عن أ بي الز ير قال :سأ لت جا برا رضى الله عنه : عن ثمن الكلب و لسنو ر, قا ل : ز جر النبي صلى الله عليه و سلم عن ذ لك(مسلم :ه/ه  )
“Dari Abu Zubair ia berkata, saya pernah bertanya kepada jabir RA tentang hasil penjualan anjing dan kucing, lalu ia menjawab “Sesungguhnya Rasulullah melarang semua itu” {Muslim 5/35}

B.     RIBA
1.      Pengertian Riba
Riba menurut Kamus bahasa arab berarti penambahan, pertumbuhan, kenaikan dan ketinggian, kelebihan. Kata riba juga telah dicakup dalam kata Usury dalam bahasa inggris. Usury diartikan dalam bunga yang terlalu tinggi atau berlebihan.
Secara etimologis, riba berarti perluasan, pertambahan dan pertumbuhan. Baik berupa tambahan material maupun inmaterial, baik dari jenis barang itu sendiri maupun dari jenis lainnya. Pada masa pra-islam, kata riba menunujukkan suatu jenis transaksi bisnis tertentu, dimana transaksi tersebut mengindentifikasikan jumlah tertentu dimuka (fixed amount) terhadap modal yang digunakan. Secara garis besar riba terjadi pada utang-piutang dan jual beli
Beberapa para fiqh berpendapat tentang riba :
a.       Menurut Al-Mali pengertian riba adalah akad yang terjadi atas pertukarana barang atau komoditas tertentu yang tidak diketahui perimbangan menurut syara’, ketika berakad atau mengakhiri penukaran kedua belah pihak atau salah satu dari keduannya.
b.      Menurut Abdul rahman Al-Jaziri, pengertian riba adalah  akad yang terjadi dengan pertukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut syara’ atau terlambat salah satunya
c.       Menurut Syeikh Muhammad Abduh bahwa riba  ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya(uangnya), karenan pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
 Riba menurut syaria’at dalam Al-Qur’an, Allah berfirman :
 “ Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan Jual-beli dan mengharamlan riba.....” (Al-Baqarah :275)[25]
Selain itu juga Allah berfirman :
 “ Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.....”(Al-Baqarah : 276).
Dan Allah juga berfirman :“Dan tinggalkan lah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang yang beriman. Jika kalian tidak mengerjakannya (meninggalkan riba ), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rosul-Nya akan memerangi kalian ” ( al-Baqarah : 278-279)[26]
Adapun dalil yang terkait dengan perbuatan Riba, ini berdasarkan Al-Qur’an. Diantara ayat tentang riba sebagai berikut.
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan .” ( Q.S Ali Imran :130)

“ Dan sesuatu Riba (tambahan ) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalannya). (QS. Ar-Rum:39).
2.       Hadist tentang Riba
عن أ بي سعيد الاخد ر ي قال ر سو ل الله صلى الله عليه و سلم الذ هب ب لذ هب وا لفضة  ب لفضة و البر ب لبر و الشعر بالشعر و لتمر بالتر و الملح بالملح مثلا بمثل يد ا بيد فمن ز اد بيد فمن زا د او استز اد فقد ار بى الا خد و المعطى فيه سوا ء
“Diriwaytkan oleh Ibnu Sa’id al-khudry bahwa Rosulullahbersabda : “emas hendaklah dibayar dengan emas. Perak hendaklah dibayar dengan perak. Gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ketangan(cash), barang siapa pemberi tambahanatau memiliki(penerima) tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba, penerima dan pemberi sama-sama salah”. (HR. Muslim)[27]
3.      Hukum Riba
Riba hukumnya haram dan Allah melarangnya sebagaimana yang telah dijelaskan diatas dalm surah Al-Baqarah ayat 275.
“ Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan Jual-beli dan mengharamlan riba.....”(QS. Al-baqarah:2(275) 
 “Dari Jabir r.a. Rosulullah telah melaknat (mengutuk) orang yang memakan Riba, wakilnya, penulisnya, dan dua saksinya.” (HR. Muslim).[28]
“ Dari Abdullah Ibnu Mas’ud r.a bahwa Nabi SAW bersabda : “ Riba itu mempunyai 73 pintu, yang paling ringan ialah seperti seorang laki-laki menikahi ibunya dan Riba yang paling berat ialah merusak kehormatan seorang Muslim.”(HR. Ibnu Majah)
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah itu? Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haq, memakan riba, makan harta anak yatim, kabur dari medan peperangan dan menuduh seorang wanita mu’min yang suci berbuat zina”. (Bukhari, Bab Ramyul Muhsanat, No. 6351)
“Dari Ibnu Mas’ud dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidaklah seseorang yang memperbanyak riba, melainkan akhir perkaranya akan merugi”. (Ibn Majah, bab Taglidh fir riba, no 2270).



3

Hadist ekonomi

HADIST EKONOMI HADIST EKONOMI NILAI-NILAI DASAR EKONOMI ISLAM NAMA : AMBRAN DIGAS RENANDO NIM : 931405116 DOSEN PENGAMPU : ANA FADHIL...